Oleh Michelle Nijhuis Foto oleh Robb Kendrick |
Inilah bahan bakar fosil terkotor, dan kita membakar 8 miliar ton setahun.
Menurut
para pemerhati lingkungan, batu bara bersih hanya mitos. Itu sudah
jelas: Lihat saja West Virginia. Puncak-puncak Pegunungan Appalachia di
sana sudah dipangkas menjadi lembah untuk mencapai batu bara di
bawahnya, sementara sungai mengalir jingga dengan air asam. Atau lihat
pusat kota Beijing. Kini, udara di sana biasanya lebih pekat daripada
ruang merokok di bandara. Pencemaran udara di Cina, yang sebagian besar
akibat pembakaran batu bara, dituding telah menyebabkan sejuta kematian
prematur per tahun.
Ini bukanlah masalah baru. Pada akhir abad
ke-17, ketika batu bara dari Wales dan Northumberland menyulut api
pertama revolusi industri di Britania, penulis Inggris John Evelyn sudah
mengeluhkan “bau dan kegelapan” asap yang menyelimuti London. Tiga abad
kemudian, pada bulan Desember 1952, asbut tebal yang penuh batu bara
turun di London dan menetap selama akhir pekan yang panjang, memicu
epidemi penyakit pernapasan yang menewaskan hingga 12.000 jiwa pada
bulan-bulan selanjutnya. Kota-kota di Amerika juga menanggung trauma
sendiri.
Pada suatu akhir pekan Oktober 1948, di kota kecil
Donora di Pennsylvania, penonton di pertandingan football SMA menyadari
bahwa mereka tidak bisa melihat pemain ataupun bola: Asbut dari pabrik
peleburan seng berbahan bakar batu bara di dekat sana menggelapkan
lapangan. Pada hari-hari berikutnya, 20 orang meninggal, dan 6.000
orang—hampir setengah kota itu—sakit.
Kalau menggunakan eufemisme
para ekonom, batu bara itu penuh “eksternalitas”—biaya berat yang
ditanggung masyarakat. Batu bara adalah sumber energi kita yang paling
kotor dan mematikan. Namun, berdasarkan berbagai perhitungan, batu bara
juga paling murah, dan kita bergantung padanya. Jadi, pertanyaan
penting sekarang ini bukan dapatkah batu bara menjadi “bersih”. Itu tak
mungkin. Pertanyaannya, dapatkah batu bara jadi cukup bersih—tak hanya
untuk mencegah bencana lokal, tetapi juga untuk mengatasi perubahan
radikal dalam iklim global.
Pada Juni lalu, pada hari yang panas
dan gerah di Washington, D.C., Presiden Barack Obama menyampaikan pidato
tentang iklim yang selama ini ditakuti industri daya listrik dan batu
bara Amerika—dan yang diharapkan pemerhati lingkungan—sejak pelantikan
pertamanya, pada 2009. Berbicara dengan berkemeja lengan pendek dan
sesekali menyeka kening, Obama mengumumkan bahwa sebelum Juni 2014,
Environmental Protection Agency (EPA) akan menyusun peraturan baru yang
akan “mengakhiri pembuangan pencemaran karbon tak terbatas dari
pembangkit listrik kita.” Peraturan itu akan dikeluarkan di bawah Clean
Air Act, undang-undang yang sebagian terilhami oleh bencana di Donora.
Undang-undang itu sudah digunakan untuk secara drastis mengurangi emisi
sulfur dioksida, oksida nitrogen, dan partikel jelaga dari pembangkit
listrik Amerika. Tetapi, karbon dioksida, penyebab utama pemanasan
global, merupakan masalah pada skala yang berbeda sama sekali.
Pada
2012, dunia mencetak rekor emisi sebesar 34,5 miliar ton karbon
dioksida dari bahan bakar fosil. Batu bara menjadi kontributor
terbesarnya. Akhir-akhir ini, gas alam murah mengurangi permintaan
batu bara di AS, tetapi di semua tempat lain, terutama di Cina,
permintaan tetap melonjak. Selama dua dasawarsa ke depan, beberapa
ratus juta orang di seluruh dunia akan mendapat listrik pertama kalinya,
dan jika pola saat ini berlanjut, sebagian besar akan menggunakan
listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Desakan paling agresif yang
menuntut sumber energi alternatif dan penghematan energi sekalipun
tidak akan mampu menggantikan batu bara—setidaknya, tidak dalam waktu
dekat.
Secepat apa Arktika meleleh, setinggi apa laut naik,
sepanas apa gelombang panas—semua unsur masa depan kita yang tak pasti
ini tergantung pada tindakan dunia tentang batu bara, khususnya AS dan
Cina. Apakah kita akan terus membakarnya dan membuang karbon ke udara
tanpa diredam? Atau akankah kita menemukan cara untuk menangkap karbon,
seperti sulfur dan nitrogen dari bahan bakar fosil, dan menyimpannya di
bawah tanah?
“Kita perlu sekuat tenaga menuntut energi
terbarukan dan efisiensi energi, dan pengurangan emisi karbon dari batu
bara,” kata peneliti Stanford University, Sally Benson, yang
berspesialisasi di bidang penyimpanan karbon.
PLTB Mountaineer milik American Electric Power, di
Sungai Ohio di New Haven, West Virginia, mengisap lebih dari 450.000
kilogram batu bara Appalachia per jam. Batu baranya datang langsung dari
tanah, melalui tongkang atau sabuk konveyor dari tambang di seberang
jalan. Setelah masuk ke PLTB, bongkah-bongkah sebesar bola golf itu
dihancurkan menjadi debu sehalus bedak, lalu disemburkan ke dalam kotak
api pada salah satu boiler terbesar di dunia. Ketiga turbin bertenaga
uap di PLTB itu memasok listrik 24 jam sehari bagi 1,3 juta pelanggan di
tujuh negara bagian. Pelanggan itu membayar sekitar Rp11.000 per kWh,
atau sekitar Rp1,2 juta per bulan, untuk mendayai lemari es, mesin cuci,
mesin pengering, televisi layar datar, dan ponsel cerdas, serta lampu,
di kebanyakan rumah tangga. Dan, seperti yang sering dikatakan Charlie
Powell, manajer PLTB Mountaineer, para pemerhati lingkungan pun perlu
lampu.
Namun, pelanggan tidak membayar satu sen pun, tidak pula
American Electric Power (AEP), untuk hak memuntahkan 6-7 juta ton karbon
dioksida ke atmosfer setiap tahun dari cerobong setinggi 305 meter di
Mountaineer. Itulah masalahnya. Karbon dapat dibuang tanpa batas karena
di kebanyakan tempat, melakukan itu tidak perlu biaya soalnya saat ini
di AS belum ada undang-undang yang melarangnya. Tetapi, pada tahun 2009
tanda-tanda undang-undang itu sudah terlihat; DPR AS sudah mengesahkan
RUU-nya musim panas itu. Yang patut dipuji, AEP memutuskan untuk
mendahului UU itu.
Pada Oktober 2009, Mountaineer memulai
eksperimen rintisan dalam penangkapan karbon. Eksperimen itu dipimpin
oleh Powell. Ayahnya bekerja selama tiga puluh tahun di PLTB di
Virginia; Powell sendiri menjalani kariernya di Mountaineer.
Pekerjaannya sederhana, katanya: “Kami membakar batu bara, membuat uap,
dan memutar turbin.” Namun, dalam eksperimen tersebut, prosesnya menjadi
lebih rumit. AEP menambahkan pabrik kimia di belakang PLTB-nya. Pabrik
itu mendinginkan sekitar 1,5 persen asap Mountaineer dan melewatkannya
dalam amonium karbonat, yang menyerap CO₂. Lalu, CO₂ itu dipampatkan
secara drastis dan disuntikkan ke dalam formasi batu pasir
berpori-pori, yang terletak 1,5 kilometer lebih di bawah tepi Sungai
Ohio.
Sistem itu berhasil. Selama lebih dari dua tahun berikutnya
AEP menangkap dan menyimpan lebih dari 37.000 ton karbon dioksida
murni. CO₂ itu masih di bawah tanah, bukan di atmosfer. Itu hanya
seperempat persen dari gas yang keluar dari cerobong, tetapi semestinya
itu baru permulaan. AEP berencana memperbesar skala proyek itu untuk
menangkap seperempat emisi PLTB, atau 1,5 juta CO₂ per tahun. Perusahaan
itu sudah sepakat untuk menanam modal Rp3,67 triliun, Department of
Energy (DOE) AS sudah sepakat memberi dana dengan jumlah setara. Tetapi,
kesepakatan ini tergantung pada dapat-tidaknya AEP memperoleh balik
modal. Dan setelah undang-undang perubahan iklim gagal di Senat, badan
pengatur utilitas negara bagian menyatakan bahwa perusahaan itu tidak
boleh membebani pelanggan dengan biaya untuk teknologi yang belum
diwajibkan undang-undang.
Pada musim semi 2011, AEP mengakhiri
proyek itu. Labirin pipa, pompa, dan tangki pun dibongkar. Meski kecil,
sistem Mountaineer adalah sistem pertama di dunia yang menangkap dan
menyimpan karbon dioksida langsung dari PLTB, dan sistem itu telah
menarik kedatangan ratusan pengunjung penasaran dari seluruh dunia,
termasuk Cina dan India. “Proses ini sempat berhasil, dan kami mendidik
banyak orang,” kata Powell. “Tetapi, astaga, perlu terobosan lain agar
proses ini ekonomis bagi kami.” Terutama terobosan peraturan—seperti
yang dijanjikan Obama musim panas lalu—tetapi terobosan teknis juga
pasti bermanfaat.
Menangkap karbon dioksida dan menyimpannya di bawah tanah dalam formasi
batu berpori, bagi para pengkritiknya, hanyalah perbaikan tambal-sulam.
Namun, DOE telah membelanjakan sekitar Rp72 triliun selama tiga
dasawarsa terakhir untuk meneliti dan menguji teknologi ini. Dan,
selama empat dasawarsa lebih, industri minyak menyuntikkan karbon
dioksida pampat ke dalam ladang minyak yang sudah habis, menggunakannya
untuk memancing minyak terperangkap ke permukaan. Di Great Plains di
Kanada, praktik ini menjadi salah satu operasi penyimpanan-karbon bawah
tanah terbesar di dunia.
Sejak 2000, lebih dari 20 juta ton
karbon dioksida telah ditangkap dari sebuah PLTB di North Dakota yang
mengubah batu bara menjadi gas alam sintetis, lalu mengirimnya lewat
pipa sejauh 320 kilometer ke utara, ke Saskatchewan. Di sana, perusahaan
minyak bumi Kanada, Cenovus Energy, mendorong CO₂ jauh ke dalam ladang
Weyburn dan Midale, wilayah minyak luas yang produktif pada 1960-an.
Dua-tiga barel minyak dilarutkan keluar dari batu reservoir dengan
setiap ton CO₂, yang kemudian disuntikkan kembali ke dalam reservoir
untuk disimpan. Di sana, dia mendekam, hampir satu setengah kilometer di
bawah tanah, terperangkap di bawah lapisan batu serpih dan garam yang
tak bisa ditembus.
Sampai berapa lama? Beberapa cadangan alami
karbon dioksida berdiam selama jutaan tahun—bahkan CO₂ di beberapa
cadangan itu telah ditambang dan dijual ke perusahaan minyak. Tetapi,
kebocoran CO₂ yang besar dan tiba-tiba dapat berakibat fatal bagi
manusia dan hewan, khususnya jika gas itu terkumpul dan terkonsentrasi
di ruang tertutup. Sejauh ini belum pernah terekam terjadi kebocoran
besar di Weyburn, yang dipantau oleh International Energy Agency, atau
di mana pun di segelintir tempat penyimpanan besar di seluruh dunia.
Para ilmuwan menilai risiko kebocoran yang menimbulkan malapetaka
sangatlah rendah.
Mereka lebih mencemaskan kebocoran yang kecil
tetapi terus-menerus, yang menegasikan tujuan kegiatan itu. Ahli
geofisika Mark Zoback dan Steven Gorelick dari Stanford University
berpendapat bahwa di tempat-tempat yang batuannya rapuh dan patah—yang
menurut mereka berada di hampir semua tempat—penyuntikan karbon dioksida
dapat memicu gempa bumi kecil. Meskipun tidak berbahaya dalam segi
lain, hal ini dapat meretakkan lapisan batu serpih dan menyebabkan CO₂
bocor.
Zoback dan Gorelick memandang penyimpanan karbon sebagai
“strategi yang sangat mahal dan berisiko.” Namun, mereka pun setuju
bahwa karbon dapat disimpan secara efektif di beberapa tempat—seperti
ladang gas Sleipner di Laut Utara. Di sana, selama 17 tahun terakhir,
perusahaan minyak Norwegia, Statoil, menyuntikkan sekitar sejuta ton CO₂
per tahun ke dalam lapisan batu pasir yang jenuh air garam, hampir satu
kilometer di bawah dasar laut. Ruang di dalam formasi itu begitu
banyak, sehingga semua CO₂ itu tidak meningkatkan tekanan internal, dan
tidak ada tanda-tanda gempa atau bocor.
Para peneliti Eropa
memperkirakan bahwa emisi pembangkit listrik Eropa selama seabad dapat
disimpan di bawah Laut Utara. Menurut DOE, “akuifer air garam dalam”
serupa di bawah AS dapat menyimpan emisi seribu tahun dari pembangkit
listrik Amerika.
Jenis-jenis batuan lain juga berpotensi sebagai
lemari karbon. Dalam eksperimen yang sedang berlangsung di Islandia dan
Daerah Aliran Sungai Columbia di Negara Bagian Washington, misalnya,
karbon dioksida disuntikkan dalam jumlah kecil-kecil ke batuan basal
vulkanis. Di sana, gas diharapkan bereaksi dengan kalsium dan magnesium,
membentuk batu karbonat—sehingga menghilangkan risiko gas bocor.
CO₂
yang disuntikkan Statoil di Sleipner tidak berasal dari pembakaran,
melainkan zat pengotor dalam gas alam yang dipompa perusahaan itu dari
dasar laut. Sebelum dapat mengirimkan gas ke pelanggan, Statoil harus
memisahkan CO₂ dari gas itu, dahulu perusahaan langsung membuangnya ke
atmosfer. Namun, pada 1991 Norwegia memberlakukan pajak karbon, yang
kini sekitar Rp715 ribu per ton. Statoil hanya mengeluarkan Rp180 ribu
per ton untuk menyuntikkan kembali CO₂ ke bawah dasar laut. Jadi, di
Sleipner, menyimpan karbon jauh lebih murah daripada membuangnya, dan
itulah sebabnya Statoil berinvestasi dalam teknologi ini. Operasi gas
alamnya tetap sangat menguntungkan.
DI PLTB, situasinya berbeda.
CO₂ adalah bagian dari gas buang yang rumit, dan perusahaan listrik
tidak memiliki insentif finansial untuk menangkapnya. Seperti yang
dipelajari para insinyur di Mountaineer, penangkapan adalah bagian
termahal dalam proyek penangkapan dan penyimpanan.
Di
Mountaineer, sistem penyerapan CO₂ ini berukuran sebesar gedung
apartemen sepuluh lantai dan menempati lahan 5,6 hektare—itu pun baru
menangkap sebagian kecil emisi karbon PLTB. Zat penyerap harus
dipanaskan untuk membebaskan CO₂, yang lalu harus sangat dipampatkan
untuk penyimpanan. Langkah-langkah padat energi ini menciptakan
persoalan, insinyur menyebutnya sebagai “muatan benalu”, yang dapat
memakan hingga 30 persen hasil energi total PLTB yang menangkap semua
karbonnya.
Salah satu cara mengurangi kerugian tinggi itu adalah
menggasifikasi batu bara sebelum membakarnya. Gasifikasi dapat
mengefisienkan pembangkitan listrik dan memungkinkan karbon dioksida
dipisahkan lebih mudah dan murah. PLTB baru yang sedang dibangun di
Kemper County, Mississippi, yang dirancang dengan memperhitungkan
penangkapan karbon, akan menggasifikasi batu bara.
PLTB yang
sudah ada, yang biasanya dirancang untuk membakar batu bara bubuk,
memerlukan pendekatan berbeda. Salah satu ide adalah membakar batu bara
dalam oksigen murni, alih-alih udara. Itu menghasilkan gas buang lebih
sederhana, sehingga lebih mudah menarik CO₂.Di West Virginia akhir-akhir ini, tambang-tambang batu bara berusia
seabad tutup sementara karena pembangkit listrik Amerika beralih ke gas
alam. Dengan harga bensin di AS mendekati rekor terendah, batu bara
mungkin terasa usang, dan menanam modal di teknologi lanjut batu bara
mungkin tampak keliru.
Namun, situasi di Yulin, Cina, berbeda.
Yulin terletak di tepi timur Cekungan Ordos di Mongolia Dalam, 800
kilometer yang berdebu ke arah pedalaman dari Beijing. Bukit pasir
berwarna jingga karat mengelilingi rimba gedung apartemen baru yang tak
berpenghuni, menumpahi tembok pembatas jalan raya, dan mengirim awan
pasir di sepanjang jalan. Yulin dan tiga juta warganya kekurangan hujan
dan keteduhan, udaranya panas di musim panas dan sangat dingin di musim
dingin. Tetapi, wilayah ini dikaruniai sumber daya mineral, termasuk
sebagian cadangan batu bara terkaya di negara itu. Di sini, batu bara
justru menjadi bahan bakar masa depan.
Dataran berpasir di
sekitar Yulin ditebari cerobong asap tinggi berbagai PLTB, dan pabrik
pengolahan batu bara raksasa, dengan asrama untuk tenaga kerja menginap,
menyebar berkilometer-kilometer di gurun pasir. Pabrik batu bara baru
ramai dengan muda-mudi berbaju monyet.
Batu bara menyediakan
sekitar 80 persen listrik Cina, tetapi penggunaannya bukan hanya untuk
membuat listrik. Mengingat batu bara merupakan bahan bakar domestik yang
begitu melimpah, ia juga digunakan untuk membuat puluhan bahan bakar
cair dan zat kimia industri, peran yang dipegang minyak bumi di sebagian
besar negara lain. Di sini, batu bara adalah bahan utama dalam beragam
produk, dari plastik hingga rayon.
Batu bara juga telah
menjadikan Cina negara yang menghasilkan emisi karbon dioksida total
tertinggi, meski AS tetap jauh memimpin dalam emisi per kapita. Cina
tidak mundur dari batu bara, tetapi semakin menyadari biaya tingginya.
“Dalam sepuluh tahun terakhir,” kata Deborah Seligsohn, peneliti
kebijakan lingkungan di University of California, San Diego, dengan
pengalaman hampir dua dasawarsa di Cina, “lingkungan bergeser dari tidak
dibicarakan sama sekali menjadi berprioritas tinggi.” Berkat keluhan
masyarakat tentang kualitas udara, kesadaran risiko perubahan iklim, dan
keinginan meraih keamanan energi dan keunggulan teknologi, Cina telah
menanamkan modal miliaran dolar dalam energi terbarukan. Sekarang negara
itu adalah produsen terbesar turbin angin dan panel surya; ladang surya
raksasa bertebaran di antara cerobong asap di sekitar Yulin. Tetapi,
negara itu juga menggalakkan tenaga batu bara ultraefisien dan
penangkapan karbon yang lebih sederhana dan lebih murah.
Upaya
ini menarik investasi maupun imigran dari luar negeri. Will Latta,
pendiri perusahaan teknik lingkungan LP Amina, adalah ekspatriat Amerika
di Beijing yang bekerja sama erat dengan perusahaan listrik Cina.
“Cina
berkata secara terbuka, Hei, batu bara itu murah, kami punya banyak,
dan alternatifnya perlu waktu puluhan tahun sampai bisa diterapkan dalam
skala besar,” ujarnya. “Sementara itu, mereka menyadari bahwa batu bara
merusak lingkungan dalam jangka panjang. Jadi, mereka menanamkan modal
yang besar untuk membersihkannya.”
Di Tianjin, sekitar 140
kilometer dari Beijing, PLTB pertama Cina yang dirancang dari nol untuk
menangkap karbon dijadwalkan dibuka pada 2016 nanti. PLTB bernama
GreenGen ini ditargetkan menangkap 80 persen emisinya.Pada musim gugur lalu, seiring konsumsi batu bara dunia dan emisi karbon
dunia menuju rekor baru, Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) menerbitkan laporan terbaru. Untuk pertama kalinya, badan itu
memperkirakan anggaran emisi untuk planet kita—jumlah total karbon yang
dapat dilepaskan tanpa kenaikan suhu melebihi 2 derajat Celsius, tingkat
yang dianggap banyak ilmuwan sebagai ambang batas bahaya serius.
Perhitungan dimulai pada abad ke-19, ketika revolusi industri menyebar.
IPCC menyimpulkan bahwa kita sudah mengeluarkan lebih dari setengah
anggaran karbon kita. Dengan pola hidup sekarang, kita akan mengeluarkan
sisa emisi itu dalam waktu tidak sampai 30 tahun.
Mengubah pola
itu melalui penangkapan karbon akan memerlukan upaya besar. Untuk
menangkap dan menyimpan sepersepuluh saja emisi dunia saat ini, kita
harus memompa CO₂ ke bawah tanah sejumlah setara dengan minyak yang kini
kita ambil. Itu memerlukan banyak jalur pipa dan sumur penyuntikan.
Namun, untuk meraih hasil yang sama dengan mengganti batu bara dengan
panel surya beremisi nol, diperlukan ladang surya seluas setengah Jawa
Tengah (hampir 20.720 kilometer persegi). Solusi ini besar-besar karena
masalahnya pun besar.
“Kalau masalahnya dapat diatasi dengan
mengurangi emisi gas rumah kaca 5-10 persen, kita tentu tidak perlu
bicara soal penangkapan dan penyimpanan karbon,” kata Edward Rubin dari
Carnegie Mellon University. “Akan tetapi, masalahnya adalah mengurangi
emisi global kira-kira 80 persen dalam 30-40 tahun ke depan.”
Penangkapan karbon berpotensi memangkas emisi besar dengan cepat:
Menangkap CO₂ dari satu PLTB seribu megawatt, misalnya, setara dengan
2,8 juta orang menukar mobil pikap dengan mobil Prius (mobil hibrid,
bertenaga listrik dan bensin).
Namun, teknologi ini baru bisa
tersebar luas jika pemerintah mewajibkannya, dengan menerapkan denda
pada karbon atau dengan mengatur emisi secara langsung. “Peraturanlah
yang diperlukan untuk mendorong perkembangan penangkapan karbon,” kata
James Dooley, peneliti di Pacific Northwest National Laboratory di DOE.
Jika
tahun ini EPA memenuhi janji Presiden Obama untuk mengatur emisi karbon
dari pembangkit listrik yang ada maupun yang baru, penangkapan karbon
akan memperoleh dorongan yang sudah lama ditunggu itu.
Sementara
itu, Cina sudah memulai eksperimen regional dengan pendekatan yang
lebih ramah-pasar—yang dirintis di AS. Pada tahun 1990-an, EPA
menggunakan Clean Air Act untuk menerapkan plafon pada total emisi
sulfur dioksida dari pembangkit listrik, mengalokasikan izin polusi yang
dapat diperjualbelikan kepada setiap pihak pencemar. Waktu itu,
industri energi telah meramalkan akan timbul bencana ekonomi.
Namun,
ternyata skema itu menghasilkan berbagai teknologi inovatif yang
semakin murah, dan udara yang jauh lebih bersih. Menurut Rubin, sistem
penangkapan karbon saat ini berada di tahap yang sama dengan sistem
sulfur dioksida pada tahun 1980-an. Setelah batas emisi menciptakan
pasar untuk sistem itu, biayanya juga dapat merosot drastis.
Jika
itu terjadi, batu bara tetap tidak akan bersih—tetapi masih jauh lebih
bersih daripada saat ini. Dan, planet kita akan lebih dingin daripada
kita terus membakar batu bara dengan cara lama yang kotor.
sumber: http://nationalgeographic.co.id
perhitungan sementara luar negeri, perhitungan suara luar negeri, hasil pemilu luar negeri 2019, dunia, industri, kesehatan, Info, informasi, berita, Unik, new, news, update, viral, alam, opini, benda, padat, coal, tambang, listrik, pltu, pembangkit listrik tenaga uap, kalimantan, indonesia, synagogue shooting, San Diego, poway ca, John Earnest, Poway, san diego shooting, poway shooting, tree of life pittsburgh synagogue, synagogues near me, synagogue in the old testament, tree of life synagogue, synagogue worship service, judaism synagogue, pittsburgh synagogue shooting, synagogue vs temple, synagogue shooting, synagogue surabaya, jerusalem, judaism, jerusalem synagogue, central synagogue, beautiful synagogue, florence, great synagogue, subotica synagogue, synagogue plzen, jews, moscow, choral synagogue, wikipedia, reform synagogue, berlin, synagogue yahudi, jewish synagogue, the synagogue of satan pdf, synagogue yahudi foto synagogue, jewish synagogue, jesus and pasar di synagogue, the synagogue of satan pdf, old synagogues, dohany street synagogue, sunday school story about jesus at synagogue, synagogues near me, tree of life pittsburgh synagogue, synagogue vs temple, judaism synagogue, synagogue in the old testament, tree of life synagogue, ancient jewish synagogue layout, synagogue shooting.
Comments
Post a Comment