INDONESIA punya sekolah internasional di Myanmar. Namanya Indonesia International School Yangon (IISY). Sekolah ini memberikan perhatian serius terhadap pengajaran bahasa Indonesia bagi murid-muridnya yang kebanyakan warga lokal.
Wartawan Jawa Pos DIAR CANDRA dan NARENDRA PRASETYA yang bertugas meliput SEA Games Myanmar sempat mengunjungi sekolah itu.
--------
"SELAMAT siang anak-anak," sapa Sugeng Iswanto, salah seorang guru IISY, yang siang itu mengajar di kelas tiga IISY. "Selamat siang, Pak," jawab para siswa dengan nada yang tidak biasa bagi telinga orang Indonesia.
Meski sedikit aneh, tegur sapa dalam bahasa Indonesia itu cukup mewarnai hari-hari di sekolah internasional yang terletak di sudut Kota Yangon tersebut. Padahal, sekolah yang berdiri pada 1967 itu bukanlah sekolah khusus bagi warga negara Indonesia yang tinggal di bekas ibu kota Myanmar tersebut.
IISY memang sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon, namun siswanya terbuka untuk umum.
Malah, di sekolah yang terletak di Kyee Min Daing Road, Ahlone Township, itu kini hanya terdapat sekitar 50 siswa berkebangsaan Indonesia. Kebanyakan anak diplomat, anak pengusaha, serta anak pekerja Indonesia yang tinggal di Yangon dan sekitarnya. Saat ini jumlah siswanya mencapai 494 orang.
Demikian pula jumlah guru yang mengajar di sekolah milik pemerintah Indonesia itu. Dari 21 guru, hanya sembilan orang yang berkebangsaan Indonesia. Itu pun hanya enam orang yang mengajarkan bahasa Indonesia. Yang lain membidangi mata pelajaran lain.
Inilah yang menarik. Guru bahasa Indonesia di sekolah itu juga para sarjana asli Myanmar yang pernah belajar ke Indonesia. IISY terus memperbanyak guru bahasa Indonesia melalui program beasiswa untuk para sarjana negara berkembang itu.
Dalam dua tahun terakhir, ada empat guru Myanmar yang menempuh pendidikan di Indonesia. Mereka adalah Ei May Zin yang mengambil studi di Jurusan Seni Musik Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Lalu, Khin Tida Win di Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan Soe Pa Pa di Jurusan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unes). Ketiganya sudah lulus dan kembali ke Myanmar untuk mempraktikkan ilmunya di IISY.
Seorang guru lainnya masih menempuh studi di Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang. Dia bernama Thein Than dan mengambil program studi bahasa Indonesia.
"Tahun depan mungkin ada lagi guru Myanmar yang disekolahkan ke Indonesia. Dengan cara begitu kami bisa menyusun kurikulum yang lebih baik untuk pengajaran bahasa Indonesia," jelas Sugeng Iswanto.
Menurut Sugeng, selama ini guru bahasa Indonesia lebih banyak didominasi guru dari Indonesia. Hanya, mereka tidak bisa lama bertugas di IISY. Paling lama empat tahun, lalu ditarik pulang kembali ke Indonesia. Karena itu, program beasiswa untuk para sarjana Myanmar belajar ke Indonesia sangat dibutuhkan untuk kelangsungan sekolah IISY.
"Selain guru, sarjana apa saja bisa mendapatkan beasiswa dari Kemenlu RI itu. Memang, selama ini yang selalu memenuhi persyaratan dan lolos seleksi kebanyakan dari sekolah ini," beber pria asli Jakarta itu.
Ada banyak faktor yang mendukung program pendidikan guru pelajaran bahasa Indonesia bagi sarjana Myanmar. Selain faktor masa bakti guru Indonesia yang terbatas dan kedekatannya dengan para siswa yang mayoritas warga Myanmar, guru yang didatangkan dari Indonesia umumnya bukan guru bahasa Indonesia. Kebanyakan mengajar mata pelajaran lain.
Tak heran bila pemakaian bahasa Indonesia di IISY masih belum mampu menggeser bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Bahasa Indonesia masih diposisikan sejajar dengan bahasa Myanmar di sekolah itu. Namun, pihak sekolah terus menaikkan level bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di IISY.
"Karena sekolah ini kan sekolah internasional. Wajar bila bahasa Inggris jadi bahasa utama, sedangkan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa nomor dua bersama bahasa Myanmar," jelas Kepala IISY Sirdjanul Ghufron ketika dihubungi di kantornya.
Upaya tersebut sepertinya tidak akan sulit diwujudkan untuk beberapa tahun ke depan. Pasalnya, KBRI ikut membantu dengan mempermudah akses bagi warga Myanmar yang akan belajar bahasa Indonesia. Apalagi, hal itu seiring dengan rencana KBRI yang akan mendirikan Pusat Kebudayaan Indonesia di Yangon.
Menurut rencana, Pusat Kebudayaan Indonesia tersebut diresmikan pada 27 Desember 2013.
"Dengan adanya pusat kebudayaan itu, orang Myanmar bisa mempelajari budaya dan bahasa Indonesia. Dengan cara seperti itu, tugas kami mencari guru bahasa Indonesia dari orang Myanmar akan lebih mudah," imbuh pria kelahiran Madiun tersebut. (*/c2/c9/ari)
Wartawan Jawa Pos DIAR CANDRA dan NARENDRA PRASETYA yang bertugas meliput SEA Games Myanmar sempat mengunjungi sekolah itu.
--------
"SELAMAT siang anak-anak," sapa Sugeng Iswanto, salah seorang guru IISY, yang siang itu mengajar di kelas tiga IISY. "Selamat siang, Pak," jawab para siswa dengan nada yang tidak biasa bagi telinga orang Indonesia.
Meski sedikit aneh, tegur sapa dalam bahasa Indonesia itu cukup mewarnai hari-hari di sekolah internasional yang terletak di sudut Kota Yangon tersebut. Padahal, sekolah yang berdiri pada 1967 itu bukanlah sekolah khusus bagi warga negara Indonesia yang tinggal di bekas ibu kota Myanmar tersebut.
IISY memang sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon, namun siswanya terbuka untuk umum.
Malah, di sekolah yang terletak di Kyee Min Daing Road, Ahlone Township, itu kini hanya terdapat sekitar 50 siswa berkebangsaan Indonesia. Kebanyakan anak diplomat, anak pengusaha, serta anak pekerja Indonesia yang tinggal di Yangon dan sekitarnya. Saat ini jumlah siswanya mencapai 494 orang.
Demikian pula jumlah guru yang mengajar di sekolah milik pemerintah Indonesia itu. Dari 21 guru, hanya sembilan orang yang berkebangsaan Indonesia. Itu pun hanya enam orang yang mengajarkan bahasa Indonesia. Yang lain membidangi mata pelajaran lain.
Inilah yang menarik. Guru bahasa Indonesia di sekolah itu juga para sarjana asli Myanmar yang pernah belajar ke Indonesia. IISY terus memperbanyak guru bahasa Indonesia melalui program beasiswa untuk para sarjana negara berkembang itu.
Dalam dua tahun terakhir, ada empat guru Myanmar yang menempuh pendidikan di Indonesia. Mereka adalah Ei May Zin yang mengambil studi di Jurusan Seni Musik Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta. Lalu, Khin Tida Win di Jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, dan Soe Pa Pa di Jurusan Seni, Universitas Negeri Semarang (Unes). Ketiganya sudah lulus dan kembali ke Myanmar untuk mempraktikkan ilmunya di IISY.
Seorang guru lainnya masih menempuh studi di Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang. Dia bernama Thein Than dan mengambil program studi bahasa Indonesia.
"Tahun depan mungkin ada lagi guru Myanmar yang disekolahkan ke Indonesia. Dengan cara begitu kami bisa menyusun kurikulum yang lebih baik untuk pengajaran bahasa Indonesia," jelas Sugeng Iswanto.
Menurut Sugeng, selama ini guru bahasa Indonesia lebih banyak didominasi guru dari Indonesia. Hanya, mereka tidak bisa lama bertugas di IISY. Paling lama empat tahun, lalu ditarik pulang kembali ke Indonesia. Karena itu, program beasiswa untuk para sarjana Myanmar belajar ke Indonesia sangat dibutuhkan untuk kelangsungan sekolah IISY.
"Selain guru, sarjana apa saja bisa mendapatkan beasiswa dari Kemenlu RI itu. Memang, selama ini yang selalu memenuhi persyaratan dan lolos seleksi kebanyakan dari sekolah ini," beber pria asli Jakarta itu.
Ada banyak faktor yang mendukung program pendidikan guru pelajaran bahasa Indonesia bagi sarjana Myanmar. Selain faktor masa bakti guru Indonesia yang terbatas dan kedekatannya dengan para siswa yang mayoritas warga Myanmar, guru yang didatangkan dari Indonesia umumnya bukan guru bahasa Indonesia. Kebanyakan mengajar mata pelajaran lain.
Tak heran bila pemakaian bahasa Indonesia di IISY masih belum mampu menggeser bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Bahasa Indonesia masih diposisikan sejajar dengan bahasa Myanmar di sekolah itu. Namun, pihak sekolah terus menaikkan level bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di IISY.
"Karena sekolah ini kan sekolah internasional. Wajar bila bahasa Inggris jadi bahasa utama, sedangkan bahasa Indonesia masih menjadi bahasa nomor dua bersama bahasa Myanmar," jelas Kepala IISY Sirdjanul Ghufron ketika dihubungi di kantornya.
Upaya tersebut sepertinya tidak akan sulit diwujudkan untuk beberapa tahun ke depan. Pasalnya, KBRI ikut membantu dengan mempermudah akses bagi warga Myanmar yang akan belajar bahasa Indonesia. Apalagi, hal itu seiring dengan rencana KBRI yang akan mendirikan Pusat Kebudayaan Indonesia di Yangon.
Menurut rencana, Pusat Kebudayaan Indonesia tersebut diresmikan pada 27 Desember 2013.
"Dengan adanya pusat kebudayaan itu, orang Myanmar bisa mempelajari budaya dan bahasa Indonesia. Dengan cara seperti itu, tugas kami mencari guru bahasa Indonesia dari orang Myanmar akan lebih mudah," imbuh pria kelahiran Madiun tersebut. (*/c2/c9/ari)
Comments
Post a Comment